Pertengahan kedua tahun 2025 ditandai dengan dinamika “talent war” yang kian intens di sektor digital Asia Tenggara. Laporan-laporan terbaru menunjukkan adanya paradoks: peluang kerja digital tumbuh pesat, namun perusahaan justru kesulitan mendapatkan SDM dengan keterampilan yang dibutuhkan. Permintaan talenta teknologi saat ini jauh melampaui pasokan di seluruh Asia Tenggara. Singapura, misalnya, memperkirakan kebutuhan pekerja digital meningkat signifikan demi menjaga daya saing, sementara transformasi digital di Indonesia mendesak percepatan pengembangan SDM lokal.
Vietnam mengalami ekspansi besar di pasar kerja TI, AI, energi terbarukan, transformasi digital, dan Malaysia agresif berinvestasi di infrastruktur cloud dan AI guna membuka ribuan lapangan kerja baru. Fenomena “more roles, fewer talent, higher pay” memang nyata terasa. Perusahaan berlomba menawarkan paket kompensasi atraktif demi menarik dan mempertahankan talenta terbaik. Di kawasan ini, gaji di sektor teknologi terus merangkak naik seiring pertumbuhan industri digital dan kelangkaan profesional terampil. Di sisi lain, pola kerja remote dan hybrid telah menjadi standar baru saat ini. Fleksibilitas lokasi kerja bukan lagi sekadar benefit, melainkan ekspektasi dasar bagi profesional digital masa kini.
Melihat tren di atas, jelas bahwa organisasi di Asia Tenggara menghadapi peluang sekaligus tantangan besar dalam membangun kapabilitas digital. Bagaimana para pemimpin dan manajer dapat merespons situasi talent crunch ini?